3 April 2016

Ego

Posted by Tiya Andini 0 comments
Sewaktu saya kelas 3 SMP dulu, saya ikut acara retreat bersama teman-teman sekelas. Di acara itu masing-masing kelas membuat name tag untuk masing-masing anak. Kebetulan name tag kelas saya cukup unik, dibuat dari CD bekas pakai lalu diberi hiasan bibir dan rambut, ya nampak mirip dengan wajah seseorang. Selain hiasan dan nama, di name tag itu ada 2 sifat yang dituliskan, sifat baik dan sifat buruk setiap anak, otomatis setiap orang memiliki tulisan yang berbeda-beda. Saya cukup lupa siapa yang "menilai" lalu menuliskan 2 sifat saya di name tag itu. Dan sejujurnya saya pun lupa sifat baik apa yang dituliskan di name tag saya, namun saya ingat sifat buruk saya di name tag itu adalah:egonya tinggi. Saya tidak terlalu aware dengan tulisan itu ketika SMP, namun sekarang saat mengingatnya lagi, saya berfikir apa iya ego saya sangat tinggi bahkan ketika SMP? Jaman kuliah dulu, kalau dipikir-pikir ego saya dibanding teman-teman yang lain memang cukup tinggi. Namun sekarang...entahlah., saya sih berfikirnya ego saya ditekan habis-habisan. Entah sejak kapan, tapi saya mulai sering mengalah dengan yang lain. Mungkin sejak kuliah, sejak saya jauh dr orang tua. Mungkin.

Mengapa tiba - tiba saya  memikirkan hal ini? Ya karena tadi itu, saya merasa ego saya sangat ditekan habis oleh kenyataan dan lingkungan. Masih ada sih beberapa hal yang saya paksakan dengan ego saya, tapi itu bukannya yang sifatnya emosional, misal: ego ketika memilih waktu ketemuan dengan teman. Saya sebagai manusia yang "punya jadwal hidup", sangat tidak bisa kalau jadwal hidup pribadi saya diganggu oleh rencana tiba-tiba. Saya harus punya persiapan 1 hari untuk menyusun jadwal. Jadi, ketika pagi membuka mata, saya sudah punya rencana apa saja yang akan saya lakukan. Jangan salahkan saya kalau saya menolak ajakan ketemuan jam 7 malam yang baru diajukan jam 6 sore. *kecuali untuk case-case tertentu*

Jadi ego saya yang sebelah mana yang dihabisi? Ego saya untuk membagi cerita dan berkeluh kesah. Dari dulu saya ini *kata teman-teman* orangnya enak jadi tempat curhat, jadi teman-teman sering cerita soal masalah mereka dengan saya. Saya pun tidak keberatan dengan hal itu, saya justru merasa terharu karena mereka bisa memberikan kepercayaan kepada saya. Terima kasih banyak teman-teman. Tapi, akhir-akhir ini saya sudah mulai gusar dengan perasaan saya sendiri. Ya saya juga masih suka bercerita dengan mereka, tapi saya sih merasanya frekuensinya cukup menurun drastis. Tahun ini bagi saya cukup berat untuk dihadapi, ada angin segar tapi juga ada badai, Angin segar bisa saya nikmati sendiri, atau bahkan saya coba bagi dengan orang lain, Tapi, angin badai di hidup saya ini sudah  terlalu lama berlangsungnya, dan parahnya lagi saya merasa tidak ada yang mau menemani saya menghadapi atau bahkan meredakan badai itu, malah ada juga yang menambah angin badainya. Di satu sisi saya kecewa, kemana mereka saat saya seperti ini. Tapi di sisi lain saya khawatir, apa yang terjadi dengan diri mereka sehingga mereka tidak bisa bersama saya? Jangan-jangan ada badai yang lebih besar di hidup mereka. Pemikiran yang terakhir ini yang *menurut saya* selalu membuat saya menekan ego soal perasaan saya. Di satu sisi saya mempertanyakan keberadaan mereka, di satu sisi saya khawatir dengan mereka.

Sebenarnya tulisan ini masih ada hubungannya dengan lagu di post terakhir saya.

I trusted you so much more than anyone else, maybe that's why the scars are bigger.

Bahkan mulai ada pemikiran di diri saya. apa mereka sebenarnya ingin memutuskan hubungan dengan saya? Apa saya berbuat salah pada mereka? Apa sebegitu memalukannya berteman dengan saya? Saya hanya memiliki mereka. Kalau mereka pergi, mau apa saya di hidup ini?


 

Live ♥ Love ♥ Life Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos